Apa Itu 'Kewarasan' Bisnis? Belajar Critical Thinking dari Ignasius Jonan


Mengapa banyak organisasi yang dipenuhi orang-orang pintar, namun gagal menyelesaikan masalah yang paling mendasar sekalipun? Mengapa sebuah masalah yang sudah jelas-jelas salah, seperti penumpang di atap kereta, bisa dibiarkan selama puluhan tahun?

Jawabannya mungkin bukan karena kurangnya kecerdasan atau sumber daya. Dalam sebuah forum kepemimpinan, Ignasius Jonan mengemukakan biang keladinya: kurangnya Critical Thinking.

Namun, Jonan tidak membahasnya dengan teori akademis yang rumit. Ia menerjemahkannya ke dalam satu kata yang jauh lebih mengena dalam bahasa Indonesia: "kewarasan".

Apa sebenarnya "kewarasan bisnis" yang ia maksud? Mari kita bedah.

1. Masalah Tidak Bisa Dipecahkan oleh Kesadaran yang Menciptakannya

Jonan membuka gagasannya dengan mengutip Albert Einstein. Intinya:

"Kita tidak dapat menyelesaikan masalah kita dengan tingkat kesadaran yang sama seperti saat kita menciptakannya."

Inilah inti dari "kewarasan".

Dalam konteks bisnis atau organisasi, banyak masalah dibiarkan mengakar karena organisasi itu sendiri terjebak dalam "kesadaran" atau logika yang menciptakan masalah tersebut.

  • "Memang sudah dari dulu begini."

  • "Masyarakat kita tidak bisa diatur."

  • "Prosedurnya memang seperti ini."

Sikap-sikap ini adalah tanda "ketidakwarasan" organisasi—sebuah ketidakmampuan untuk melihat masalah dari luar tempurung logikanya sendiri. "Kewarasan" adalah kemampuan untuk mundur selangkah, menantang asumsi dasar, dan berkata, "Ini salah. Kita harus berpikir dengan cara yang sama sekali baru."

2. Kita Diajar Apa yang Harus Dipikirkan, Bukan Cara Berpikir

Mengapa "kewarasan" ini menjadi barang langka? Jonan menyoroti sebuah fakta menarik: sistem pendidikan kita sering kali tidak lagi mengajarkan "Theory of Knowledge" atau Filsafat.

Kita dilatih untuk menjadi ahli di bidang teknis—akuntansi, hukum, teknik, atau pemasaran. Kita diajari apa yang harus dipikirkan dalam kotak-kotak spesialisasi itu. Namun, kita jarang dilatih cara berpikir—bagaimana menganalisis sebuah argumen, mengidentifikasi bias, atau membangun logika dari prinsip pertama.

Akibatnya, kita bisa menghasilkan banyak manajer yang hebat dalam doing things right (melakukan sesuatu dengan benar sesuai prosedur), tetapi sedikit pemimpin yang berani doing the right things (melakukan hal yang benar).

3. "Kewarasan" dalam Praktik: Kasus KRL

Contoh paling nyata dari penerapan "kewarasan" ini adalah transformasinya di KAI.

  • Kesadaran Lama (Tidak Waras): Selama 32 tahun Orde Baru, penumpang di atap KRL dianggap "fakta kehidupan". Logika internal saat itu adalah: "Membiarkan mereka adalah 'prosedur' yang benar, karena melarangnya akan menimbulkan kekacauan sosial.".

  • Kesadaran Baru (Waras): Jonan datang dengan "kewarasan" dari luar. Ia menolak logika tersebut. Baginya, logika yang benar adalah: "Mengangkut manusia di atap adalah hal yang salah secara fundamental—ini soal keselamatan dan peradaban. Ini harus dihentikan, titik."

Pergeseran dari "ini tidak bisa diubah" menjadi "ini harus diubah" adalah lompatan critical thinking yang ia maksud. Ia mengubah level kesadaran organisasi, dari pasrah menjadi proaktif.

Penutup: Mengasah Kembali "Kewarasan" Anda

Pada akhirnya, "kewarasan bisnis" bukanlah sebuah bakat misterius. Ia adalah sebuah disiplin—kemampuan untuk secara sadar berpikir tentang cara kita berpikir.

Seperti yang disarankan Jonan, kita mungkin perlu secara aktif "belajar kembali" filsafat atau "Theory of Knowledge". Bukan untuk menjadi filsuf, tetapi untuk mengasah pisau logika kita.

Dalam dunia yang penuh disrupsi, keahlian teknis bisa kedaluwarsa. Namun, kemampuan untuk berpikir jernih, logis, dan waras—itulah fondasi sejati yang membedakan pemimpin yang hanya menjalankan rutinitas dengan mereka yang mampu menciptakan transformasi nyata.



Posting Komentar

0 Komentar