Dua kata yang paling sering mendominasi diskusi kepemimpinan modern adalah "Generation Gap" dan "Popularitas". Banyak pemimpin pusing tujuh keliling memikirkan cara mengelola tim yang terdiri dari Gen Z hingga Baby Boomers. Di sisi lain, banyak yang terjebak dalam perlombaan membangun personal branding dan mengejar follower di media sosial.
Ignasius Jonan, dalam sebuah forum kepemimpinan, menawarkan perspektif yang "waras" dan menyegarkan. Ia membantah kedua tantangan ini, bukan dengan teori rumit, tetapi dengan logika dan pengalaman praktis.
Berikut adalah cara Jonan menyikapi dua tantangan besar di era modern.
1. Mitos "Generation Gap": Ini Bukan Soal Usia, Ini Soal Komunikasi
Saat ditanya soal generation gap, Jonan secara tegas menolaknya. Baginya, itu adalah mitos yang sering dijadikan kambing hitam.
"Saya tidak percaya pada generation gap," tegasnya. Menurut Jonan, masalahnya bukan pada perbedaan usia.
Ia memberikan contoh menarik: Bill Clinton, George W. Bush, dan Donald Trump. Ketiganya lahir di tahun yang sama (1946, Catatan: video menyebut 1947, namun faktanya 1946), namun "meteran" kepemimpinan mereka berbeda total. Clinton menjadi presiden di usia 46, Bush di usia 54, dan Trump di usia 70. Ini membuktikan bahwa usia hanyalah angka, bukan penentu kesiapan atau mindset seseorang.
Lantas, jika bukan usia, apa masalah sebenarnya? Jonan menjawab: Komunikasi.
Ia bercerita pengalamannya saat pertama kali memimpin PT. KAI, di mana 70% karyawannya adalah lulusan SD dan SMP. Banyak dari mereka berusia senior. Jika ia menggunakan "gap generasi" sebagai alasan, transformasi tidak akan pernah terjadi.
Tantangan sebenarnya adalah: "Bagaimana saya, seorang bankir, bisa menjelaskan visi transformasi digital kepada seorang petugas berusia 50+ tahun dengan latar belakang pendidikan SD?".
Jonan sadar, yang harus beradaptasi adalah dirinya sebagai pemimpin. Ia harus menemukan bahasa yang tepat agar visinya dipahami oleh level paling bawah. Ia harus menyederhanakan konsep rumit menjadi instruksi yang "waras" dan bisa dieksekusi.
Pelajaran: Berhentilah menyalahkan "Gen Z yang sulit diatur" atau "Boomer yang kaku". Sebaliknya, tanyakan pada diri sendiri: "Sudahkah saya menemukan cara komunikasi yang tepat agar visi saya dipahami oleh setiap individu dalam tim saya?"
2. Jebakan Popularitas: Fokus pada Pelanggan, Bukan "Likes"
Di era di mana jumlah follower dianggap sebagai mata uang baru, Jonan kembali menawarkan "kewarasan". Baginya, popularitas adalah "pilihan hidup", bukan tujuan kepemimpinan.
Ia menceritakan pengalamannya bertemu Raffi Ahmad. Dengan jujur ia mengakui bahwa Raffi memiliki 75 juta follower, sementara ia tidak. Apakah ia iri? Sama sekali tidak.
Jonan bahkan menyadari ironi di akun media sosialnya sendiri. Sebuah unggahan foto kucing bisa mendapatkan 10.000 likes, sementara unggahan yang substansif dan penting mungkin hanya mendapat 1.000 likes.
Apa yang ia lakukan? "Saya tidak peduli dengan algoritma," ujarnya.
Bagi Jonan, mengejar popularitas adalah jebakan. Fokus seorang pemimpin seharusnya bukan pada kompetitor atau algoritma, melainkan pada pelanggan. Pelangganlah yang "membayar", bukan follower.
Ia mengingatkan kembali pada prinsip Peter Drucker: "Popularitas bukanlah kepemimpinan, hasil-lah kepemimpinan". Popularitas mungkin datang sebagai bonus dari hasil kerja yang baik, tetapi ia tidak boleh menjadi tujuan itu sendiri.
Pelajaran: Popularitas itu fana. Pemimpin yang fokus mengejar likes akan dilupakan begitu algoritmanya berubah. Pemimpin yang fokus melayani pelanggan dan memberikan hasil akan meninggalkan warisan yang bertahan lama.
Kesimpulan: Kembali ke Prinsip Dasar
Sikap Ignasius Jonan terhadap dua "masalah" modern ini adalah sebuah ajakan untuk kembali ke prinsip dasar kepemimpinan:
Daripada pusing soal Generation Gap, fokuslah untuk menjadi komunikator ulung.
Daripada terjebak Jebakan Popularitas, fokuslah untuk melayani pelanggan dan menciptakan hasil nyata.
Pada akhirnya, kepemimpinan bukanlah soal seberapa "kekinian" Anda, tetapi seberapa "waras" Anda dalam membedakan mana yang penting dan mana yang sekadar kebisingan.

0 Komentar