Memburu Ketenangan di Zaman Fitnah: Syukur sebagai “Mata Uang” Sakînah


Kita hidup di zaman yang disebut oleh para ulama sebagai zaman fitnah — masa penuh ujian, kebingungan, dan guncangan nilai. Informasi bercampur antara benar dan salah; media sosial menampilkan kesempurnaan semu; dan manusia kerap kehilangan pegangan spiritual di tengah hiruk-pikuk dunia. Dalam kondisi ini, ketenangan (sakînah) menjadi barang langka, sementara hati manusia semakin gelisah meskipun limpahan materi dan kemudahan hidup terus bertambah.

Namun, Islam mengajarkan bahwa ketenangan sejati tidak bergantung pada keadaan luar, melainkan pada hubungan batin antara hamba dan Rabb-nya. Dan kunci utama untuk membuka pintu ketenangan itu adalah kesyukuran.

1. Zaman Fitnah dan Hilangnya Ketenangan

Rasulullah ﷺ telah menggambarkan datangnya zaman di mana fitnah menyelimuti kehidupan manusia — fitnah akidah, moral, dan duniawi.
Penceramah menguraikan tiga jenis fitnah besar yang kini nyata kita saksikan:

  1. Fitnah akhlâs – perpecahan dan pertikaian yang menumbuhkan kebencian antarsesama.
  2. Fitnah syarah – kelapangan dunia yang menjerumuskan manusia dalam kemewahan dan materialisme.
  3. Fitnah duhaimâ – kegelapan yang menutupi kebenaran, sehingga manusia sulit membedakan antara hak dan batil.

Zaman ini tidak lagi ideal; ia penuh suara, opini, dan perbandingan. Hati manusia mudah goncang dan kehilangan arah. Maka, kebutuhan terbesar manusia modern bukanlah kekayaan atau jabatan, tetapi ketenangan batin yang stabil.

2. Ketenangan sebagai Karunia Ilahi

Ketenangan (sakînah) bukan hasil latihan pikiran semata, melainkan anugerah yang Allah turunkan langsung ke dalam hati orang beriman.
Al-Qur’an menegaskan:

“Dialah yang menurunkan ketenangan (sakînah) ke dalam hati orang-orang beriman agar bertambah iman mereka bersama keimanan mereka.”
(QS. Al-Fath: 4)

Kata “menurunkan” (anzala) menunjukkan bahwa ketenangan adalah pemberian vertikal dari Allah, bukan hasil rekayasa manusia. Ia tidak dijual di pasar, tidak diukur dengan harta, dan tidak bisa dipalsukan dengan tawa di media sosial.

Kebahagiaan bersifat fluktuatif — bisa naik dan turun tergantung situasi. Tetapi ketenangan bersifat konstan dan stabil; ia menetap dalam jiwa yang dekat dengan Allah, apa pun kondisi dunianya.

3. Syukur: Mata Uang untuk Membeli Ketenangan

Penceramah menggunakan ungkapan yang sangat indah:

“Kesyukuran adalah mata uang, dan yang dibeli dengan mata uang itu adalah ketenangan.”

Kesyukuran bukan sekadar ucapan “alhamdulillah” di bibir, melainkan sikap sadar dan tunduk bahwa semua yang kita miliki adalah karunia Allah, bukan hasil kemampuan kita semata.

Bentuk nyata syukur meliputi:

  • Syukur hati, dengan ridha terhadap ketentuan Allah dan tidak iri terhadap orang lain.
  • Syukur lisan, dengan memuji dan menyebut nikmat Allah.
  • Syukur anggota badan, dengan menggunakan nikmat untuk ketaatan.

Allah berjanji dalam QS. Ibrahim: 7:

“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.”

Dan penambahan terbesar bukanlah dalam bentuk harta, melainkan ketenangan dan keberkahan hidup.

4. Penyakit Zaman: Membandingkan Kehidupan Orang Lain

Salah satu penyebab hilangnya ketenangan adalah kecanduan membandingkan diri.
Media sosial menjadikan manusia sibuk menatap “teras kehidupan orang lain” — pencapaian, liburan, dan kemewahan yang dipamerkan. Padahal, banyak dari itu hanyalah tampilan, bukan kenyataan.

Ketika pandangan hati selalu ke luar, manusia lupa bersyukur atas nikmat yang sudah ia miliki. Ia mulai merasa hidupnya kurang, meski rezekinya cukup. Dari situlah muncul kegelisahan, iri, dan rasa tidak puas yang tak pernah usai.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu (dalam hal dunia), jangan kepada yang di atasmu, karena itu lebih pantas agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah atasmu.”
(HR. Muslim)

5. Syukur sebagai Perisai dari Fitnah

Syukur bukan hanya tanda iman, tapi juga perisai spiritual dari fitnah dunia. Orang yang bersyukur akan:

  • Melihat setiap ujian sebagai peluang mendekat kepada Allah.
  • Tidak mudah panik dalam kesempitan, karena yakin setiap takdir membawa hikmah.
  • Menjaga lisan dari keluh kesah dan hati dari dengki.
  • Tetap tenang meski dunia berisik.

Ketika dunia dilanda kegaduhan informasi dan perlombaan gaya hidup, seorang hamba yang bersyukur tetap mampu tersenyum dan beristirahat di bawah teduhnya ridha Allah.

6. Meraih Ketenangan dengan Tiga Langkah

Untuk memburu sakînah di tengah guncangan zaman, ada tiga langkah sederhana namun mendalam:

  1. Perbanyak dzikir dan tadabbur Al-Qur’an – karena dengan mengingat Allah hati menjadi tenang (Ala bidzikrillahi tathmainnul qulub).
  2. Batasi paparan dunia maya – agar hati tidak terusik oleh citra palsu dan kehidupan orang lain.
  3. Bangun rutinitas syukur – tulis tiga hal yang disyukuri setiap hari; biasakan mengucap “Alhamdulillah” dengan penuh kesadaran.

Penutup

Ketenangan adalah salah satu karunia tertinggi yang Allah berikan kepada hamba yang bersyukur. Ia bukan sekadar rasa damai, tapi kekuatan batin yang membuat seseorang kokoh di tengah badai kehidupan.

Maka, di zaman fitnah ini — ketika dunia berisik, nilai kabur, dan hati manusia letih — jadikanlah syukur sebagai mata uang sakînah. Karena hanya dengan bersyukur, hati akan tenang, hidup terasa lapang, dan jiwa terhubung kembali kepada sumber ketenangan sejati: Allah Subhânahu wa Ta‘âlâ.

“Mungkin dunia ini berisik, tetapi jika Allah telah menurunkan ketenangan ke dalam hati, maka kebisingan dunia tidak akan mampu mengganggu hidupmu.”


Posting Komentar

0 Komentar