Apa bedanya seorang pemimpin yang hebat dengan pemimpin yang sekadar populer? Apa tolok ukur sejati dari sebuah kepemimpinan yang transformatif?
Banyak orang mengukur kesuksesan pemimpin dari pencapaian selama ia menjabat. Gedung baru diresmikan, laba meroket, atau popularitas pribadi yang tinggi. Namun, dalam sebuah Leadership Forum yang diselenggarakan IDN Times, Ignasius Jonan mengingatkan kita pada sebuah standar yang jauh lebih tinggi, sebuah ujian waktu yang tak bisa dibohongi.
Tolok ukur sejati seorang pemimpin bukanlah apa yang terjadi saat ia hadir, melainkan apa yang terjadi setelah ia pergi.
Ujian Jarak Jauh: 10 Tahun Kemudian
Saat membagikan pandangannya, Jonan mengutip prinsip dari Chief Operating Officer Meta, Sheryl Sandberg:
"Kepemimpinan adalah tentang membuat orang lain lebih baik sebagai hasil dari kehadiran Anda, dan memastikan dampak itu bertahan saat Anda tidak ada."
Bagian kedua dari kutipan itu adalah intinya.
Jonan sendiri adalah contoh sempurna dari prinsip ini. Ia meninggalkan jabatannya sebagai Dirut PT. Kereta Api Indonesia (KAI) pada akhir 2014. Sekarang, lebih dari satu dekade telah berlalu.
Coba kita lihat KAI hari ini. Apakah perusahaan itu kembali ke kondisi berantakan seperti sebelum 2009? Tidak. Apakah inovasinya berhenti? Justru sebaliknya.
Organisasi itu terus tumbuh. Saat ini, kita melihat inovasi seperti face recognition untuk boarding, sistem tiket yang semakin terintegrasi, dan standar pelayanan yang terus dijaga. Padahal, Jonan sudah 10 tahun tidak di sana.
Inilah yang membedakan antara pemimpin yang membangun otoritas dengan pemimpin yang membangun warisan. Pemimpin yang hanya mengandalkan otoritasnya akan melihat warisannya runtuh begitu ia melangkah keluar dari pintu. Tapi pemimpin yang membangun legacy, dampaknya akan terus terasa.
Rahasianya: Mewariskan Pola Pikir, Bukan Sekadar Aturan
Bagaimana ini bisa terjadi? Jawabannya sederhana namun mendalam.
Jonan menjelaskan bahwa warisan yang ia tinggalkan bukanlah sekadar tumpukan Peraturan Direksi atau Standar Operasional Prosedur (SOP). Peraturan bisa diubah oleh pemimpin berikutnya.
Yang ia wariskan adalah sesuatu yang jauh lebih fundamental: sebuah 'mindset' atau pola pikir.
Selama masa kepemimpinannya, ia tidak hanya memerintah orang untuk membersihkan toilet atau mengusir calo. Ia menanamkan mindset bahwa pelanggan adalah raja, bahwa kebersihan adalah cermin peradaban, dan bahwa efisiensi operasional adalah kewajiban.
Ketika sebuah organisasi telah menginternalisasi mindset ini, mereka tidak lagi membutuhkan sosok pemimpin untuk "menyuruh". Organisasi itu mulai berpikir untuk dirinya sendiri.
Manajer stasiun akan berinovasi mencari cara pelayanan baru, bukan karena disuruh, tetapi karena mindset-nya sudah berfokus pada pelanggan.
Tim IT akan mengembangkan face recognition, bukan karena ada dalam Rencana Kerja, tetapi karena mindset-nya adalah mencari efisiensi.
Pemimpin Sejati Membuat Dirinya Tidak Lagi Dibutuhkan
Pada akhirnya, warisan sejati seorang pemimpin bukanlah patung atau gedung yang dinamai menurut namanya. Warisan sejatinya adalah sebuah budaya, sebuah pola pikir, sebuah sistem nilai yang terus hidup dan beregenerasi di dalam diri setiap karyawan, lama setelah sang pemimpin itu sendiri pergi.
Keberhasilan terbesar seorang pemimpin adalah ketika ia berhasil membuat dirinya obsolete—saat organisasi yang ia bangun bisa berfungsi dengan cemerlang, beradaptasi, dan berinovasi tanpa kehadirannya.

0 Komentar