Prof. I Gede Wenten membuka sambutannya di KPPTI 2025 dengan mengakui bahwa ia "bikin masalah" dengan meminta Prof. Muhammad Nuh ditempatkan paling atas dalam susunan pembicara. Akibatnya, beliau harus presentasi setelah sosok yang sangat berpengalaman tersebut—sebuah tantangan berat.
"Saya harus berusaha menyampaikan sesuatu yang setidaknya sedikit saja mendekati kualitas beliau: menarik, mengalir, dan mengena," ujar Prof. Wenten dengan rendah hati.
Kegelisahan: Dampak Bukan Hanya Soal Hilirisasi
Prof. Wenten menyampaikan kegelisahannya terhadap tren yang berkembang sejak munculnya tata nilai "berdampak" dari Kementerian. Menurutnya, istilah dampak hampir selalu diasosiasikan dengan hilirisasi—produk, komersialisasi, industri—seolah-olah dampak itu hanya soal ekonomi dan pasar.
"Pengamatan saya terhadap berbagai program, termasuk di BRIN, menunjukkan kecenderungan yang sama. Karena itu saya merasa perlu menulis dan menyampaikan perspektif lain tentang riset berdampak, yang tidak meminggirkan aspek ilmiahnya," jelasnya.
Untuk itu, beliau menyiapkan makalah khusus berjudul "Riset Berdampak" yang membahas perspektif lebih komprehensif tentang makna dampak dalam konteks penelitian ilmiah.
Perjalanan: Dari Riset hingga Mendirikan Pabrik
Prof. Wenten membagikan latar belakang yang menjelaskan mengapa sikapnya terhadap riset seperti sekarang. Beliau menempuh S3 di Denmark, dan penelitiannya berujung pada US Patent yang sempat dikomersialisasi. Setelah itu bekerja di Belanda dan Amerika, sebelum pulang ke Indonesia saat krisis moneter.
Pengalaman Membangun Bisnis Teknologi
Yang membuat pengalaman Prof. Wenten unik adalah: setelah pulang ke Indonesia, beliau mendirikan usaha. Bukan sekadar berdagang membran, tetapi membangun pabrik membrannya sendiri. Bahkan mesin spinning membrannya pun dirancang dan dibuat sendiri.
Ekspansi internasional yang dilakukan:
- 2002: Membangun pabrik membran keramik di Foshan, Tiongkok (Guangdong Jingang New Materials)
- 2004: Mendirikan pabrik membran polimer Megavision Membrane di Pudong, Shanghai
- Membeli perusahaan di Jakarta: PT Asas Air Solusi Abadi Sentosa di kawasan Central Park
"Kenapa saya cerita ini? Bukan untuk menyombongkan diri. Tapi saya ingin menjelaskan kenapa sikap saya terhadap riset seperti sekarang," ujarnya.
Insight dari Pengalaman Bisnis
Sebagai orang yang pernah dan masih menjalankan bisnis, Prof. Wenten melihat dengan sangat jelas:
Ke depan, hampir tidak mungkin ada bisnis yang berkelanjutan tanpa riset.
"Mau berdagang apa pun, mau bikin pabrik apa pun, tanpa kontribusi keilmuan, tanpa menghasilkan sesuatu yang baru dan unggul, akan sangat sulit bersaing," tegasnya.
Yang mengherankan bagi Prof. Wenten: justru di saat seperti ini—ketika peluang terbesar ada di peneliti dan ilmuwan—kita malah sering ikut-ikutan tren yang justru mengabaikan aspek saintifik dari riset itu sendiri.
Budaya Ilmiah: Fondasi Kemajuan Bangsa
Dari semua pengalaman tersebut, Prof. Wenten memiliki keyakinan yang sangat kuat:
Budaya ilmiah yang unggul adalah pondasi utama kemajuan suatu bangsa.
Tanpa budaya ilmiah yang kuat, kita akan sangat kesulitan membangun keunggulan di era ekonomi berbasis pengetahuan. Membangun budaya ilmiah adalah investasi terpenting suatu bangsa kalau kita sungguh-sungguh ingin maju dan berkompetisi secara global.
Secara definisi sederhana:
- Budaya ilmiah menyangkut nilai, norma, dan praktik ilmiah
- Unggul bicara tentang kualitas dan kebermaknaan
Kritik terhadap Pola Pengelolaan Riset
Prof. Wenten mengkritik pola pengelolaan riset nasional yang sebagian besar penelitinya adalah ASN, yang seringkali diperlakukan seperti mengelola pabrik. Padahal, riset adalah complex adaptive system.
"Mengelola pabrik, inputnya jelas, outputnya terukur. Mengelola riset, inputnya sama sekali tidak otomatis menjamin keluaran tertentu. Kalau dipaksa diperlakukan seperti lini produksi, seringkali hasilnya justru semu," kritiknya.
Euforia Inovasi: Ketika Jargon Menggantikan Substansi
Sejak awal 2000-an, menurut Prof. Wenten, Indonesia mulai gencar bicara inovasi, tapi yang muncul justru euforia inovasi. Segalanya mau diberi label inovasi, hilirisasi, komersialisasi, entrepreneurial university, triple helix, quadruple helix, dan seterusnya.
Akibatnya, beberapa hal melenceng:
1. Stigma "Research for Research"
Kita sering menyalahkan istilah research for research seolah itu dosa besar, padahal riset fundamental adalah fondasi.
2. Hype Paten Tanpa Substansi
Ada fenomena hype dalam inovasi: paten diuber-uber untuk angka, sementara research center dan kualitas ilmiah diabaikan. Konsultan paten menjamur, tapi sistem paten appraisal dan ekosistem riset serius tidak mengiringi.
Kontroversi: Paten Jangan Jadi Syarat Naik Pangkat
Prof. Wenten menyampaikan pendapat yang kontroversial namun berani:
Paten jangan dijadikan syarat naik pangkat.
Alasannya sederhana: Paten tanpa pasar dan tanpa teknologi yang kompetitif itu liabilitas, beban biaya.
"Sebagai orang yang berdagang, saya tahu: Setelah teknologi dihilirisasi, pabrik dibangun, produk diproduksi; kalau knowledge contribution-nya rendah, tidak kompetitif, maka diproduksi akan rugi, tidak diproduksi jadi aset mati dan beban. Itu liabilitas total," jelasnya dengan tegas.
Prof. Wenten mengaku membaca hampir semua abstrak paten BRIN yang dibagikan ke dewan pengarah. Dari situ beliau semakin yakin bahwa kita sedang menghadapi krisis IPTEK: terlalu banyak angka, terlalu sedikit substansi ilmiah yang tajam.
Akar Masalah: Kekurangan Teknologi Kompetitif
Tahun lalu, ketika Luhut Binsar Pandjaitan datang ke ITB untuk diskusi Indonesia Emas 2045, Prof. Wenten menyampaikan masalah utama:
Kita tidak punya cukup teknologi yang kompetitif.
Dan akar dari masalah itu adalah riset. Dari mana lagi kita mendapatkan teknologi, kalau bukan dari riset?
Bahkan negara-negara seperti Jepang dan Tiongkok yang terkenal kuat di reverse engineering, tidak sekadar bongkar pasang. Tetap ada kontribusi pengetahuan baru di sana. Itu semua bermula dari riset.
Rekonstruksi Pola Pengembangan IPTEK Nasional
Dalam satu forum, ketika baru diangkat sebagai Dewan Pengarah BRIN, Prof. Wenten menyampaikan gagasan selama hampir dua jam dengan judul "Rekonstruksi Pola Pengembangan IPTEK Nasional". Di situ beliau mengusulkan lima langkah, antara lain:
- Mencermati dan menggali potensi yang ada
- Menempuh jalan perubahan
- Membangun budaya ilmiah menuju keunggulan ekonomi berbasis kekayaan intelektual
- Merumuskan politik teknologi nasional
Tapi jantungnya semua itu adalah:
Membangun budaya ilmiah yang unggul.
Buku 400 Halaman: Blueprint Transformasi
Ketika menjabat Wakil Rektor di ITB, Prof. Wenten langsung menyampaikan persoalan ini kepada Rektor. Karena implementasi kebijakan di posisi struktural tidak mudah, pada akhirnya beliau menuliskan seluruh gagasan menjadi sebuah buku sekitar 400 halaman.
Struktur Buku
Buku ini dibagi menjadi empat bagian:
Bagian 1: Tantangan
- Transformasi Indonesia melalui budaya ilmiah
- Urgensi budaya ilmiah di era perubahan
Prof. Wenten menggali jejak sejarah. Di tahun 1920-an, rektor kedua ITB hampir menjadi penerima Nobel, dan karya-karyanya di bidang fisika sampai sekarang masih banyak disitasi. Ini menunjukkan bahwa budaya ilmiah unggul itu pernah mulai tumbuh di Indonesia.
Bagian 2: Pilar Perubahan
- Kerangka konseptual budaya ilmiah unggul
- Integritas akademik sebagai pilar
- Kepemimpinan transformasional
Bagian 3: Langkah Strategis
- Menumbuhkan sikap ilmiah (scientific temper)
- Mengakselerasi program strategis
- Lima program yang diusulkan
- Membangun budaya ilmiah dengan ukuran, desain, dan kompetisi yang sehat
Bagian 4: Implementasi Prof. Wenten mengusulkan fokus pada pusat-pusat penelitian sebagai ujung tombak, karena benang kusut riset kita perlu disederhanakan.
Empat Dimensi Riset Berdampak
Dalam makalahnya, Prof. Wenten mengelompokkan dampak menjadi empat dimensi:
- Dampak Saintifik
- Dampak Sosial
- Dampak Ekonomi
- Dampak Kebijakan
"Dampak ekonomi penting, tidak bisa kita tolak. Tetapi: Tidak ada dampak ekonomi yang berkelanjutan tanpa dampak saintifik yang signifikan," tegasnya.
Riset adalah tentang kebaruan, kontribusi keilmuan, dan keunggulan. Kalau aspek ilmiahnya lemah, dampak ekonomi—kalaupun ada—biasanya hanya sesaat.
Indonesia Emas 2045 itu knowledge-driven. Karena itu, dampak saintifik harus ditempatkan di posisi tertinggi, sesuai dengan nature riset itu sendiri.
Bukti Nyata: Lima Tahun di ITB
Selama lima tahun di ITB, Prof. Wenten mendorong tiga aspek dampak secara seimbang dengan hasil nyata:
1. Dampak Saintifik: Fokus pada Kualitas Publikasi
Untuk dampak saintifik, fokus pertama adalah pada kualitas publikasi. ITB mendorong peningkatan publikasi di jurnal-jurnal Q1, karena:
If you cannot measure, you cannot manage.
Data Scopus menunjukkan peningkatan signifikan Q1 ITB dari 2020–2023, dan itu berdampak pada sitasi per fakultas. Kalau dibanding per universitas, ITB mungkin tidak selalu nomor satu. Tapi kalau per dosen, posisinya lebih kompetitif.
Dalam 15 bidang utama Scopus, ketika dibandingkan dengan lima universitas top Indonesia lain, ITB memimpin di 8 bidang—termasuk sosial, hukum, dan kedokteran. Ini data Scopus per 6 Desember 2024.
2. Kolaborasi Internasional: Joint Publication dengan Top 10 Universities
Prof. Wenten berbagi pengalaman pribadi yang sangat bermakna. Beliau punya kerja sama MIT–Indonesia (MIRA) dengan Prof. Sakari Smith di MIT. Dalam satu penelitian, Prof. Smith sangat membantu: membaca draft, mengkritisi, membantu perbaikan, hingga menilai:
"This is excellent."
Makalah itu langsung diterima di jurnal tujuan pada submit pertama.
Namun ketika Prof. Wenten menawarkan beliau sebagai co-author, Prof. Smith menolak. Alasannya: idenya ide Anda, draftnya Anda, saya hanya pantas disebut di bagian acknowledgements.
"Saya kaget, tapi dari situ saya belajar besar: budaya ilmiah mereka sangat ketat soal integritas," kenang Prof. Wenten.
Strategi Joint Publication
Dari pengalaman itu, Prof. Wenten mendorong joint publication dengan top 10 university dunia: MIT, Harvard, Oxford, Berkeley, dan sebagainya.
Hasilnya:
- 2020–2023: sekitar 260 joint publication dengan top 10 university
- Rata-rata 65 per tahun
"Kalau ke depan bisa dinaikkan menjadi 100 per tahun, lalu 200, 300, sampai 500 per tahun, saya yakin kapasitas keilmuan kita akan terdongkrak signifikan. Dengan pola hubungan dan budaya yang benar, 'plesetan-plesetan' akademik akan berkurang," ujarnya.
Secara strategis, ini cara murah untuk membangun budaya ilmiah unggul:
- Manfaatkan dosen-dosen yang sudah punya link dengan top university
- Jadikan joint publication sebagai budaya, bukan sekadar proyek
3. Dampak Sosial: Pengabdian Berbasis Riset Unggul
ITB mensyaratkan bahwa pengabdian masyarakat tidak boleh hanya pembelian alat lalu dibawa ke desa. Harus ada basis riset yang unggul.
Program pengabdian yang dilakukan, banyak didanai oleh Kementerian Desa, dan berdampak nyata di lapangan. Evaluasi pihak luar juga menunjukkan ITB termasuk universitas yang banyak dipakai industri untuk kerja sama.
Studi Kasus: Dari Sains hingga Bisnis dan Dampak Sosial
Sebagai penutup, Prof. Wenten memberikan contoh konkret dari risetnya sendiri untuk menunjukkan bahwa:
Ketika riset ilmiah ditekuni dengan serius, jalurnya bisa: sains → paten → teknologi → bisnis → dampak sosial.
Kasus 1: Membran Filtrasi Bir dan Teknik Backshock
Prof. Wenten bekerja di bidang membran untuk filtrasi bir. Problem utamanya adalah fouling (penyumbatan)—terdengar sederhana, tapi secara teknis sangat kompleks dan lama tidak terselesaikan.
Beliau kemudian mengembangkan teknik backwash super cepat yang disebut backshock: proses backwashing dalam orde 1 milidetik. Ternyata kinerjanya tidak bergantung pada lamanya backwash, tetapi pada dinamika sangat cepat di skala waktu tersebut.
Teknik ini dikombinasikan dengan struktur membran reverse asymmetric, dan berujung pada US Patent yang kemudian dikomersialisasi. Paten ini yang membantu Prof. Wenten secara finansial untuk mendirikan usaha.
Kasus 2: Mata Air Buatan
Saat ini Prof. Wenten mengembangkan teknologi "mata air buatan". Ide awalnya sederhana namun powerful:
"Saya melihat di desa-desa, mata air mulai menghilang. Saya berpikir: 'Kalau mata air bisa hilang, mungkin bisa juga kita buat mata air rekayasa.'"
Konsep Teknologi
Beliau menanam modul membran dalam satu sistem yang diisi batu-batu mineral dan pasir besi (untuk efek antibakteri). Di atasnya boleh ditanami sayuran, tanpa pupuk kimia—akar tanaman ikut berperan sebagai sistem biologi penyaring. Sumber airnya: hujan atau air permukaan (sungai).
Lewat membran yang ditanam itu, keluar air minum. Skalanya bisa sebesar laguna kecil atau kolam luas di desa.
Publikasi dan Komersialisasi
Secara ilmiah, teknologi ini dikembangkan menjadi:
Gravity-driven, high-selective ultrafiltration
Dan dipublikasikan di Reviews in Chemical Engineering—salah satu dari 10 jurnal terbaik di bidang teknik kimia. Penulisnya Prof. Wenten dan staf muda yang merupakan lulusan S1 Undip.
Komersialisasinya ada pada unit air minum dengan kapasitas sekitar 500 liter/jam di tekanan 1 bar, dengan harga sekitar 59 juta rupiah per unit. Tahun lalu teknologi ini diperkenalkan di World Water Forum ke-10 di Bali, ditujukan antara lain untuk negara-negara Afrika yang juga punya masalah akses air bersih.
Pesan Penutup: Dampak Saintifik sebagai Fondasi
Prof. Wenten menutup sambutannya dengan penegasan bahwa semua contoh yang disampaikan bukan untuk glorifikasi pribadi, tetapi untuk menunjukkan:
- Riset yang kuat secara ilmiah bisa sekaligus berdampak sosial dan ekonomi
- Budaya ilmiah unggul bukan slogan, tetapi hasil dari desain, kerja keras, integritas, dan kolaborasi yang benar
- Kalau kita sungguh-sungguh ingin Indonesia Emas 2045 yang knowledge-driven, maka dampak saintifik harus menjadi fondasi setiap pembicaraan tentang "riset berdampak"
Kesimpulan: Perspektif yang Menyeimbangkan
Sambutan Prof. I Gede Wenten memberikan perspektif yang sangat penting dalam diskusi tentang riset berdampak. Dengan latar belakang unik sebagai akademisi yang juga pengusaha sukses, beliau mampu melihat kedua sisi dengan jernih:
Di satu sisi, beliau paham betul pentingnya komersialisasi, hilirisasi, dan dampak ekonomi. Pengalamannya membangun pabrik membran di Indonesia dan Tiongkok, serta mengomersialkan paten, membuktikan bahwa beliau bukan akademisi menara gading.
Di sisi lain, justru dari pengalaman bisnis itulah beliau melihat bahwa tanpa fondasi riset yang kuat secara ilmiah, dampak ekonomi tidak akan berkelanjutan. Paten tanpa substansi ilmiah yang kompetitif hanyalah liabilitas.
Kritiknya terhadap euforia inovasi, hype paten tanpa substansi, dan stigmatisasi "research for research" adalah reminder penting bahwa dalam mengejar dampak ekonomi, kita tidak boleh mengabaikan aspek saintifik yang merupakan jantung dari riset itu sendiri.
Bukti nyata dari ITB—peningkatan publikasi Q1, 260 joint publication dengan top 10 universities, dan pengabdian masyarakat berbasis riset unggul—menunjukkan bahwa pendekatan yang menyeimbangkan dampak saintifik, sosial, dan ekonomi bukan hanya mungkin, tetapi lebih sustainable.
Studi kasus teknologi membran dan mata air buatan menunjukkan jalur ideal: dari riset fundamental yang tajam secara ilmiah, ke paten yang kompetitif, ke komersialisasi yang menguntungkan, hingga dampak sosial yang nyata.
Pesan Prof. Wenten sangat jelas: Dampak saintifik bukan hanya salah satu dimensi dampak, tetapi fondasi yang menentukan keberlanjutan semua dampak lainnya.
Artikel ini disusun berdasarkan sambutan Prof. I Gede Wenten pada KPPTI 2025 di Universitas Negeri Surabaya, 19-21 November 2025.
0 Komentar