Pengantar dengan Wisdom dan Humor
Prof. Muhammad Nuh, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2009-2014), membuka sambutannya di KPPTI 2025 dengan cara yang unik—melalui dua kisah yang penuh makna dan humor.
Kisah Pertama: Tentang Kesetiaan
Beliau bercerita tentang pengalamannya ketika menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, di mana salah satu tugasnya adalah mengalungkan selendang kepada Miss Indonesia. Dalam satu acara, beliau duduk diapit oleh Miss Indonesia dan Miss World, sementara istrinya harus duduk di pojok karena aturan protokoler.
"Saya sudah berusia 40-an tahun, mereka baru 20-an, tetapi tinggi badan saya hanya sepundak mereka—rasanya seperti 'anak stunting'," kenang Prof. Nuh dengan humor.
Setelah acara, sang istri meminta agar beliau tidak mau lagi ditugasi seperti itu. Dengan spontan Prof. Nuh menjawab: "Ndak usah khawatir, saya ini alirannya setia."
Dari kisah ini, beliau menyampaikan nilai pertama yang ingin dititipkan: kesetiaan.
Kesetiaan kepada:
- Kebenaran
- Bangsa dan negara
- Dunia pendidikan
- Siapapun yang pernah terikat janji kesetiaan
Kisah Kedua: Anekdot Si Dul dan Ayam-Ayamnya
Prof. Nuh membagikan anekdot dari Bangkalan, Madura, tentang Si Dul, seorang pengantar ayam hidup ke warung soto. Suatu hari Si Dul mendapat pesanan mengantar ayam ke "Warung Soto Lumayan" di Jalan Ahmad Yani Nomor 20.
Di tengah jalan, Si Dul terpeleset, rombongnya jatuh, dan ayam-ayamnya berlarian ke segala arah. Orang-orang berteriak memintanya mengejar ayam-ayam itu. Si Dul menjawab santai:
"Mau ke mana ayam-ayam itu? Alamatnya kan ada di saya."
"Inilah hakikat kepemimpinan," tegas Prof. Nuh.
Kepemimpinan yang paling rendah adalah kepemimpinan yang hanya bermodalkan SK—"bondo SK". Pemimpin yang tidak terkoneksi dengan apa yang dipimpinnya. Seperti Si Dul yang merasa cukup memegang alamat, padahal ayam-ayam yang berserakan di lapangan tidak diurus.
Bersyukur Menjadi Bagian Ekosistem Pendidikan Tinggi
Prof. Nuh mengajak semua hadirin untuk bersyukur karena ditakdirkan menjadi bagian dari ekosistem pendidikan tinggi.
"Pendidikan tinggi adalah sebuah sistem dengan human capital terbaik. Tidak ada sistem lain yang human capital-nya melebihi perguruan tinggi," katanya. "Di perguruan tinggi berkumpul para profesor, doktor, cendekiawan, intelektual, dan paling tidak lulusan SMA/SMK/MA terbaik yang terseleksi."
Karena itu, perguruan tinggi memikul tanggung jawab moral, sosial, dan akademik yang luar biasa besar: untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menghantarkan kejayaan Indonesia 2045—yang tinggal sekitar 20 tahun lagi.
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Bukan Sekadar Individu
Prof. Nuh mengingatkan bahwa dalam pembukaan UUD 1945, kata yang dipilih adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa", bukan sekadar "mencerdaskan orang per orang".
"Banyak orang cerdik pandai, tapi kehidupan sosialnya tidak cerdas: suka bertengkar, tidak produktif, dan sebagainya," jelasnya. "Yang ingin kita cerdaskan adalah kehidupan bangsa, bukan hanya kepala per kepala."
Lima Ciri Kehidupan yang Cerdas
Prof. Nuh menguraikan lima ciri kehidupan yang cerdas:
1. High Curiosity (Rasa Ingin Tahu yang Tinggi) Terus-menerus bertanya, mencari, memikirkan. Rasa penasaran adalah modal utama inovasi. Tanpa rasa penasaran, inovasi hampir mustahil lahir.
2. Adaptabilitas yang Tinggi Kemampuan beradaptasi di tengah perubahan. Dengan adaptasi, kita bisa mengantisipasi perubahan-perubahan yang datang begitu cepat.
3. Strong Empathy (Empati yang Kuat) Bukan sekadar simpati, tapi empati yang kuat. Empati adalah modal harmoni sosial. Tanpa empati, yang muncul adalah keberingasan dan kekerasan.
Prof. Nuh membedakan simpati dan empati dengan contoh konkret:
"Simpati itu ikut merasa. Tetangga meninggal, kita takziah, kita sedih, kita doakan. Itu simpati. Empati lebih jauh: kita datang, kita sedih dan mendoakan, lalu bertanya: 'Ibu punya putra-putri berapa? Berapa yang masih sekolah? Kalau begitu, saya bantu beasiswa.' Di situ ada unsur solusi. Itulah empati."
4. Compliance to Rules and Values Patuh pada aturan dan nilai, termasuk nilai moral dan etika.
5. Problem Solver Mindset Selalu fokus pada solusi. Ini adalah ciri paling membedakan:
- Orang yang kurang cerdas: kalau ketemu masalah, masalahnya yang dipersoalkan. Karena tidak bisa menjawab, yang terjadi adalah memperkarakan perkara.
- Orang yang cerdas: setiap ada persoalan, mindset-nya hanya satu: how to solve the problem.
Kampus sebagai Pemandu, Penjaga, dan Pembukti Optimisme
Prof. Nuh mengelompokkan respons masyarakat terhadap Indonesia 2045 menjadi empat tipe:
- Tidak mungkin → kelompok skeptis
- Tidak peduli → kelompok laissez faire
- Ragu-ragu → kelompok pesimis
- Sangat yakin dan optimis → kelompok yang diharapkan
"Insyaallah Bapak Ibu semua berada di kelompok keempat: optimis," ujar Prof. Nuh dengan penuh keyakinan.
Karena itu, kampus-kampus harus menjadi:
- Pemandu optimisme
- Penjaga optimisme
- Pembukti kejayaan Indonesia 2045
"Kalau kita saja sudah tidak yakin, bagaimana mungkin lahir ikhtiar yang besar?" tegasnya.
Definisi Sederhana Pemimpin yang Baik
Prof. Nuh mendefinisikan pemimpin yang baik dengan bahasa yang sangat sederhana:
"Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu mengantarkan apa yang ia janjikan. Sesederhana itu."
Seseorang baru bisa punya janji kalau ia punya visi, misi, ide, dan nilai. Namun punya janji saja tidak cukup. Ia harus mampu men-deliver janji itu.
Untuk bisa men-deliver, dibutuhkan dua hal:
- Willingness – kemauan, bagian dari sikap dan karakter
- Capability – kemampuan, yang terdiri dari knowledge dan technical skills
Empat Tugas Mendasar Pemimpin
Prof. Nuh menguraikan empat tugas pemimpin yang paling mendasar:
- Strengthening (Penguatan) Setiap orang dalam ekosistem harus diperkuat kapasitasnya.
- Empowering (Pemberdayaan) Bukan hanya diperkuat, tetapi diberi ruang bergerak dan mengambil peran.
- Enlightening (Pencerahan) Memberi arah, visi, dan cara pandang.
- Synergizing (Membangun Sinergi) Mengintegrasikan berbagai elemen menjadi kekuatan kolektif.
Fungsi Orkestrasi: Yang Paling Mahal
"Di atas semua itu, yang paling mahal adalah fungsi orkestrasi," tegas Prof. Nuh.
Sering kali semua unitnya bagus: direktur jenderal hebat, dekan hebat, kajur hebat, rektor hebat; tetapi kalau fungsi orkestrasinya lemah, organisasi tidak jalan.
"Di perguruan tinggi pun demikian: dosen-dosennya pintar, prodi-prodinya kuat, sistemnya ada, tapi kalau orkestrasi kepemimpinannya tidak jalan, hasilnya tidak maksimal," jelasnya.
Tiga Level Kepemimpinan
Prof. Nuh mengelompokkan pemimpin dalam beberapa level:
Level 1 – Bermodalkan SK Orang patuh karena harus patuh: "Kamu harus ikut saya, kan saya rektornya. Kan saya menterinya." Kepatuhan lahir karena kewajiban formal.
Level 3 – Orang Mengikuti Karena Ingin Bukan karena harus. Mereka melihat bukti nyata kinerja pemimpinnya.
Level Tertinggi – Orang Mengikuti Karena Hormat Bukan hanya karena jabatan, bukan hanya karena kinerja, tetapi karena kombinasi integritas pribadi dan kapasitas profesional yang sudah teruji.
Followership: 80% Kunci Keberhasilan
Salah satu insight penting yang disampaikan Prof. Nuh adalah tentang pentingnya followership.
"Kita sering diajari leadership, tetapi jarang diajari followership. Akibatnya, kalau kalah pemilihan, yang terjadi 'ngamuk', karena merasa semua orang harus jadi leader, tidak ada yang mau jadi follower," kritiknya.
Padahal, menurut berbagai riset, followership berkontribusi sekitar 80% terhadap keberhasilan organisasi.
"Meskipun rektornya top, kalau para pengikutnya sama sekali tidak siap, ya tetap tidak jadi apa-apa," tegasnya.
Empat Tipe Follower
Prof. Nuh mengelompokkan follower menjadi empat tipe:
- Pasif – tidak punya ide, tidak aktif, hanya "grudak-gruduk"
- Suka mengkritik – tetapi tidak pernah aktif berkontribusi
- Yes-people – tidak mau berpikir, pokoknya "yes" saja, tidak punya "no"
- Exemplary follower (yang paling ideal) – mikir dan patuh; ia berpikir kritis sekaligus tetap taat pada garis organisasi
Kepemimpinan Transformatif: Berani Masuk ke Ruang Gelap
Prof. Nuh menggunakan analogi matematika untuk menjelaskan transformasi:
"Kalau kita bicara transformasi Laplace, misalnya, secara sederhana: kalau kita ingin melakukan transformasi, kita tidak hanya memindahkan sesuatu di domain waktu yang sama, tetapi mengubahnya ke domain yang lebih kompleks: dari time domain ke complex domain."
Analoginya, pemimpin transformatif tidak boleh hanya mengubah hal-hal di permukaan. Ia harus berani masuk ke wilayah yang lebih kompleks, ke daerah yang belum nyaman, ke zona "gelap" yang penuh tantangan.
Kisah Nasruddin: Mencari di Tempat yang Salah
Prof. Nuh menceritakan kisah Nasruddin yang mencari jarum yang jatuh di dalam rumah (tempat gelap), tetapi malah mencarinya di luar rumah karena lebih terang.
"Sering kali kita begini: masalahnya di 'dalam rumah', di ruang gelap, tetapi kita sibuk mencari di luar, di tempat terang, karena lebih nyaman," kritiknya. "Padahal pemimpin transformatif harus berani masuk ke ruang-ruang gelap, ke sumber masalah yang sesungguhnya."
Empat I: Ciri Transformational Leadership
Prof. Nuh menguraikan empat ciri khas kepemimpinan transformasional (4I):
1. Idealized Influence Pengaruh yang kuat karena integritas dan keteladanan.
2. Inspirational Motivation Mampu menginspirasi dan memotivasi melampaui kepentingan pribadi.
3. Intellectual Stimulation Mampu menggugah cara berpikir, merangsang kreativitas dan inovasi.
4. Individualized Consideration Memberi perhatian pada pengembangan individu, tidak melihat orang hanya sebagai angka atau posisi.
Tugas transformational leader adalah menggeser sebanyak mungkin orang dari kuadran pasif dan destruktif ke kuadran konstruktif—ke kuadran pemecah masalah, penggerak, dan inovator.
Tiga Alasan Kampus Butuh Kepemimpinan Transformatif
Prof. Nuh menyebutkan tiga alasan mengapa kampus membutuhkan kepemimpinan transformatif:
- Perkembangan teknologi yang amat cepat
- Pergeseran harapan dan karakter mahasiswa – generasi hari ini berbeda dengan generasi 10–20 tahun lalu
- Tantangan global – persaingan tidak lagi lokal, tapi global, dan berjalan sangat ketat
Lima Pilar Kepemimpinan Transformatif di Perguruan Tinggi
Prof. Nuh merangkum lima pilar penting kepemimpinan transformatif di perguruan tinggi:
- Digital Transformation dan E-Transformation Ini bukan pilihan (choice), tetapi keharusan (imperatif).
- Redefinisi Budaya dan Model Akademik Kurikulum, pedagogi, dan ekosistem akademik harus diarahkan untuk mempersiapkan future workforce dan future citizenship.
- Kolaborasi Industri dan Global Tak bisa lagi ditunda.
- Sustainability Finansial Perguruan tinggi harus punya model keberlanjutan finansial yang sehat.
- Student-Centered Semua bermuara pada mahasiswa: kualitas, karakter, dan daya saing mereka.
"Mengapa semua ini perlu? Karena waktu kita tinggal sekitar 20 tahun menuju 2045. Kita ingin memaksimalkan peran dan kontribusi perguruan tinggi dalam mewujudkan kejayaan Indonesia Emas 2045," tegasnya.
Penutup: Kemanfaatan sebagai Ukuran Utama
Prof. Nuh menutup sambutannya dengan penegasan penting:
Bukan ilmu untuk ilmu,
Bukan penelitian untuk penelitian,
Bukan pendidikan untuk pendidikan.
Tetapi: apa manfaatnya bagi manusia, kemanusiaan, dan bangsa.
Kemanfaatan itu terjadi jika ia memenuhi kebutuhan. Kebutuhan sifatnya dinamis, sehingga kemanfaatan pun sifatnya dinamis. Di situlah letak pentingnya inovasi.
Kesimpulan: Kepemimpinan yang Holistik
Sambutan Prof. Muhammad Nuh memberikan perspektif yang holistik tentang kepemimpinan transformatif dalam pendidikan tinggi. Dari kesetiaan sebagai fondasi nilai, pemahaman bahwa kepemimpinan bukan sekadar SK, pentingnya followership, hingga keberanian masuk ke "ruang gelap" untuk menyelesaikan masalah sesungguhnya.
Dengan pendekatan storytelling yang khas—mulai dari anekdot Miss Indonesia hingga kisah Si Dul dan ayam-ayamnya, dari transformasi Laplace hingga kisah Nasruddin—Prof. Nuh berhasil menyampaikan pesan-pesan kompleks tentang kepemimpinan dengan cara yang mudah dipahami dan berkesan.
Lima pilar kepemimpinan transformatif yang beliau sampaikan—digital transformation, redefinisi model akademik, kolaborasi global, sustainability finansial, dan student-centered approach—menjadi peta jalan konkret bagi perguruan tinggi Indonesia dalam 20 tahun menuju Indonesia Emas 2045.
Yang paling penting, kepemimpinan transformatif bukan hanya tentang mengubah struktur atau sistem, tetapi tentang menggeser mindset—dari yang pasif ke aktif, dari yang destruktif ke konstruktif, dari yang hanya bicara masalah menjadi pencari solusi. Dan semua itu harus bermuara pada satu tujuan: kemanfaatan bagi manusia, kemanusiaan, dan bangsa.
Artikel ini disusun berdasarkan sambutan Prof. Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2009-2014), pada KPPTI 2025 di Universitas Negeri Surabaya, 19-21 November 2025.
0 Komentar