Studi Kasus "Start With Why": Dari Birokrasi 'WHAT' Menuju Pelayanan 'WHY' di Sektor Publik


Banyak organisasi layanan publik, termasuk di sektor pendidikan tinggi, terjebak dalam "Perangkap Efisiensi". Kita begitu fokus pada "WHAT" (Apa) dan "HOW" (Bagaimana) sehingga kita melupakan "WHY" (Mengapa).

  • WHAT kita: SOP, Indikator Kinerja Utama (IKU), target serapan anggaran, laporan akuntabilitas, dan daftar periksa akreditasi.
  • HOW kita: Prosedur birokrasi, alur persetujuan yang berlapis, rapat koordinasi, dan penggunaan aplikasi digital.

Kita sibuk mencentang kotak-kotak tersebut hingga kita lupa mengapa kita ada. Hasilnya? Staf bekerja secara robotik (gugur kewajiban) dan stakeholder (dosen, mahasiswa, masyarakat) merasa berinteraksi dengan "tembok" prosedur, bukan dengan manusia.

Bagaimana "Start With Why" bisa membongkar ini? Mari kita gunakan sebuah studi kasus.

Saya akan mengambil contoh organisasi yang saya pimpin saat ini (LLDIKTI), salah satu tugas utamanya adalah memberikan pelayanan kepada perguruan tinggi, termasuk melayani dosen dalam urusan kompetensi dan karir. 

Seorang dosen datang untuk mengurus administrasi kenaikan pangkat (Jafung).

  1. Staf (Fokus WHAT): Staf layanan adalah "Penjaga Gerbang". Fokus utamanya adalah kelengkapan dokumen. Ia melihat daftar periksa. "Maaf, Pak. Dokumen nomor 7 tidak ada, dan lembar nomor 3 salah format. Silakan dilengkapi dulu."
  2. Proses (Fokus HOW): Dosen harus kembali, memperbaiki, dan mengantre lagi di hari lain. Prosedur (HOW) telah diikuti dengan sempurna. Laporan staf (WHAT) akan "hijau" karena tidak ada dokumen yang tidak lengkap yang diproses.
  3. Hasil: Secara administratif, pekerjaan benar. Secara layanan, terjadi kegagalan. Dosen merasa frustrasi, prosesnya lambat, dan "LLDIKTI" dianggap sebagai penghambat kesuksesan.

Organisasi LLDIKTI ini "efisien" dalam menjalankan aturan, tetapi "tidak efektif" dalam menjalankan tujuannya.

Isi Utama 2: Pergeseran Strategis - Menemukan "WHY"

Sekarang, bayangkan saya sebagai pemimpin LLDIKTI melakukan intervensi. Saya mengumpulkan tim bukan untuk membahas SOP baru (HOW), tapi untuk mendefinisikan ulang "WHY" mereka.

Setelah diskusi panjang, mereka sepakat bahwa "WHY" mereka bukan "memeriksa dokumen" atau "menjalankan regulasi".

"WHY" mereka adalah: "Mengakselerasi kesuksesan setiap insan perguruan tinggi agar mereka bisa berdampak maksimal bagi bangsa."

Ini adalah pergeseran total. Tujuannya bukan lagi kepatuhan administratif, tetapi akselerasi kesuksesan.

Skenario 2 - (LLDIKTI Fokus pada WHY)

Dosen yang sama datang ke lembaga yang sudah bertransformasi ini.

  1. Staf (Fokus WHY): Staf layanan kini adalah "Akselerator". Pola pikirnya adalah, "Tujuan saya adalah membantu Bapak ini sukses naik pangkat secepat mungkin."
  2. Proses (Fokus WHY): Staf melihat dokumen. "Baik, Pak. Dokumen 1-6 sudah lengkap. Dokumen nomor 7 sepertinya tertinggal. Sambil Bapak mengambilnya, saya akan bantu cek format lembar nomor 3 agar sesuai. Tujuan kita adalah berkas ini harus masuk hari ini juga agar bisa segera diproses."
  3. Hasil: Staf tidak lagi bersembunyi di balik aturan. Mereka menggunakan aturan sebagai alat untuk mencapai "WHY". Dosen merasa dibantu dan dilayani. Kepercayaan (trust) terbangun. LLDIKTI kini dianggap sebagai mitra kesuksesan.

Transformasi Dimulai dari "Mengapa"

Lihat? Tidak ada SOP yang diubah. Tidak ada aplikasi baru yang dibeli.

Transformasi sejati di sektor publik seringkali bukan tentang mengubah "APA" (SOP) atau "BAGAIMANA" (Sistem). Transformasi sejati dimulai dari mengubah "MENGAPA" (Tujuan).

Inovasi digital dan perbaikan SOP hanyalah alat. Tanpa "WHY" yang kuat, digitalisasi hanya akan mempercepat prosedur yang salah.

Kepemimpinan "Start With Why" di sektor publik adalah tentang menggeser fokus tim Anda: dari "Rules-Based" (berbasis aturan) menjadi "Purpose-Based" (berbasis tujuan).

Pertanyaan Refleksi untuk Anda:

Apakah tim Anda di kantor datang bekerja setiap hari untuk "menjalankan aturan" atau untuk "memenuhi tujuan"?

Posting Komentar

0 Komentar