Tepat sebelum azan magrib dikumandangkan, saya menyelelesaikan bacaan novel Ketika Cinta Bertasbih. Tidak butuh waktu lama memang bagi saya untuk melahap habis untaian kisah yang ditulis dengan indahnya oleh Kang Abik dalam novelnya tersebut. Rasa tak sabar sudah menghinggapi diri untuk membaca kelanjutan kisah Khairul Azzam, Fadhil, Furqon, Hafez, Anna Althafunnisa, Eliana, dan tokoh-tokoh lainnya pada episode 2 dwilogi Ketika Cinta Bertasbih ini...

Sebagaimana karya-karya Kang Abik terdahulu, karyanya kali ini juga sarat dengan hikmah yang dapat dipetik oleh pembacanya. Kutipan-kutipan ayat, hadits, mahfudzat, kisah sahabat bahkan kaidah ushul fiqhi memang menjadi kekayaan dari tulisan Kang Abik. Karakter yang dilakonkan para tokoh di novel tersebut, memang sudah jadi barang langka di kalangan remaja dan pemuda masa kini, namun melahirkan kerinduan bagi pembaca untuk dapat memiliki karakter-karakter tersebut, seperti karakter yang mencintai ilmu, yang menjunjung tinggi kesucian diri, jiwa dan cinta, serta karakter paripurna yang mencontohkan sikap tauladan dalam menghadapi problema asmara yang sudah pasti selalu mendera semua pemuda-pemudi yang memiliki cinta di hatinya.


Kepiawaian Kang Abik dalam menjelaskan keindahan tiap detil sudut kota-kota dalam novel tersebut juga menumbuhkan kerinduan pada negeri seribu menara tersebut. Dua jempol naik deh buat Kang Abik, tokoh Abdullah Khairul Azzam dalam novelnya ini lagi-lagi menjadi inspirasi banyak orang sebagaimana tokoh lain pada novel-novelnya yang terdahulu. kali ini Kang Abik mampu merombak standar keberhasilan seorang mahasiswa yang selama ini sering dinilai dari sisi prestasi akademis saja. menurut saya, tokoh Azzam yang lebih fokus pada bisnis bakso dan tempenya untuk bisa survive di Mesir dan mampu memberi nafkah pada keluarganya di Indonesia adalah keberhasilan sejati.