Pendekatan Berbasis Data dan Evidence
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Prof. Stella Christie membuka sambutannya di KPPTI 2025 dengan pertanyaan mendasar: mengapa kita perlu globalisasi?
"Tidak ada satu pun yang kita kerjakan di pendidikan tinggi tanpa menanyakan rasionalitasnya: kenapa?" ujar Prof. Stella. "Kita adalah sivitas akademika, kita adalah para peneliti. Kita selalu menggunakan data dan evidence untuk melaksanakan sesuatu."
Pendekatan berbasis bukti ini menjadi fondasi seluruh strategi globalisasi yang dikembangkan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Bukan sekadar ikut tren, tetapi didasarkan pada data empiris yang menunjukkan dampak nyata terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa.
Pergeseran Paradigma: Dari Teaching ke Research University
Prof. Stella mengungkapkan bahwa model dominan yang masih hidup di benak banyak orang tentang universitas adalah: tugas utama universitas adalah mengajar. Riset—kalau ada—dilakukan setelah mengajar selesai, kalau masih ada waktu luang.
Namun, jika kita berkaca pada negara-negara yang berkembang pesat, model dominan mereka bukan teaching university, tetapi research university.
"Ini bukan berarti teaching tidak penting. Justru pengajaran sangat penting, tetapi pengajaran harus dilakukan berdasarkan pengetahuan hasil riset," tegasnya.
Dalam model research university:
- Tujuan utama universitas adalah inovasi
- Riset menjadi fokus utama
- Pengajaran berbasis riset melahirkan lulusan yang punya kemampuan riset dan inovasi
Sejarah Perubahan: Bukti dari Tiga Negara Besar
Perubahan dari teaching university ke research university terbukti menghasilkan kemajuan ekonomi dan geopolitik yang luar biasa. Prof. Stella memberikan tiga contoh historis:
1. Jerman (1810)
- Universitas berubah menjadi research university sekitar tahun 1810
- Sekitar 50 tahun kemudian, Jerman memenangkan Prussian War tahun 1870
2. Amerika Serikat (1940-1950an)
- Pergeseran terjadi terutama karena kebutuhan riset pada masa Perang Dunia II
- Perang memaksa lahirnya inovasi untuk memenangkan perang
- Sekitar 50 tahun kemudian, Amerika Serikat memenangkan Cold War tahun 1989
3. Tiongkok (1980-1990an)
- Awalnya didominasi teaching university, lalu berubah menjadi sistem yang sangat menekankan riset
- Sekitar 50 tahun kemudian, hari ini kita bisa melihat sendiri data inovasi sains dan teknologi Tiongkok yang menakjubkan
"Jadi bukan kebetulan: perubahan orientasi universitas dari teaching ke research berkorelasi kuat dengan kemajuan ekonomi dan geopolitik," simpul Prof. Stella.
Universitas sebagai Tumpuan Ekonomi Negara
Perubahan ini penting karena universitas bukan menara gading yang terlepas dari perekonomian. Universitas adalah tumpuan ekonomi negara. Prof. Stella memberikan data nyata yang mengejutkan:
Stanford University
- Satu universitas ini, dari dosen dan alumninya, menghasilkan sekitar 44 kuadriliun rupiah per tahun
- Angka ini membuat Stanford bisa dianggap sebagai salah satu dari 10 "ekonomi terbesar" di dunia—melampaui banyak negara
MIT (Massachusetts Institute of Technology)
- Menghasilkan sekitar 32 kuadriliun rupiah per tahun
- Dampak kumulatif: 5,4 juta pekerjaan dan 40.000 perusahaan
University of Kansas
- Mungkin terasa seperti universitas "biasa", tetapi menghasilkan sekitar 17 triliun rupiah per tahun
- Menciptakan 48.000 pekerjaan—terutama di daerah sekitarnya
Klaster Inovasi Tiongkok
- Klaster inovasi dan teknologi yang berpusat di universitas seperti Tsinghua University menyumbang 13,4% dari total GDP Tiongkok
- Hanya menggunakan 2,5% dari total konstruksi negara
- Return on investment yang luar biasa besar
"Jadi dana yang diberikan negara kepada universitas bukan biaya hangus, melainkan investasi dengan pengembalian luar biasa untuk pertumbuhan ekonomi," tegas Prof. Stella.
Inovasi: Satu-satunya Jalan Menuju Pertumbuhan Ekonomi
Seluruh teori ekonomi modern sepakat: pertumbuhan ekonomi jangka panjang hanya bisa dicapai dengan inovasi. Tanpa inovasi, pertumbuhan akan mentok.
Inovasi datang dari mana? Dari riset. Dan riset—terutama riset dasar dan riset jangka panjang—basis utamanya ada di universitas.
Data Konkret: ROI Investasi Riset
Satu studi menunjukkan dampak investasi riset terhadap GDP:
- Kenaikan 10% investasi riset akan meningkatkan GDP jangka pendek sekitar 0,2%
- Kenaikan 10% riset yang sama dalam jangka panjang meningkatkan GDP sekitar 0,9%
"Kalau kita ingin mencapai pertumbuhan ekonomi 8% seperti yang diamanahkan Bapak Presiden, maka kualitas riset—dan kualitas sumber daya manusia yang melakukan riset—harus kita tingkatkan secara signifikan. Di sinilah peran universitas," ujar Prof. Stella.
Mengapa Kolaborasi Internasional?
Setelah jelas bahwa kita perlu meningkatkan kualitas riset, muncul pertanyaan berikut: Apakah kita perlu bekerja sama secara internasional untuk meningkatkan kualitas riset?
Prof. Stella mengutip artikel penting di jurnal Nature oleh Jonathan Adams yang menganalisis 30 tahun data publikasi. Hasilnya sangat jelas: the best science—riset dengan dampak tertinggi—sebagian besar berasal dari kolaborasi internasional.
Impact Premium: Bukti Empiris
Yang disebut premium impact atau impact premium adalah tambahan dampak sitasi yang muncul ketika riset dilakukan secara kolaboratif lintas negara.
Untuk Amerika Serikat dan Inggris (tahun 2001 dan 2011):
- Publikasi yang ditulis hanya oleh peneliti domestik memiliki dampak sitasi yang lebih rendah
- Publikasi yang ditulis dengan kolaborator internasional punya dampak sitasi jauh lebih tinggi
"Ini berlaku bahkan di negara maju yang risetnya sudah sangat kuat. Artinya, bahkan mereka yang sudah 'kuat' pun masih membutuhkan kolaborasi internasional untuk memperoleh dampak lebih besar," jelas Prof. Stella.
Field-Weighted Citation Impact (FWCI) Indonesia
Data FWCI menunjukkan realitas yang harus kita hadapi:
- FWCI Indonesia secara keseluruhan: 0,82 (di bawah rata-rata dunia yang nilainya 1,0)
- Ketika peneliti Indonesia berkolaborasi dengan peneliti Inggris, FWCI naik menjadi 3,38—lebih dari tiga kali lipat!
"Kolaborasi internasional bukan sekadar 'gengsi', tetapi secara objektif meningkatkan dampak ilmiah riset kita," tegas Prof. Stella.
Di bidang AI and Life Science, analisis global menunjukkan bahwa artikel dengan kolaborasi internasional memperoleh sekitar 21–35% sitasi lebih banyak dibanding artikel tanpa kolaborasi.
Kesimpulannya jelas: kalau ingin meningkatkan kualitas dan dampak sains Indonesia, internasionalisasi dan kolaborasi global bukan pilihan, tetapi kebutuhan.
Manfaat Langsung untuk Dosen
Prof. Stella memahami bahwa jika dosen dan peneliti tidak merasakan manfaat langsung, sulit meminta semua orang bekerja keras. Karena itu, globalisasi dan kerja sama internasional dirancang untuk memberikan dampak langsung bagi dosen:
- Peluang meningkatkan kompetensi dan meraih PhD di luar negeri
- Peluang mendapatkan dana riset internasional
- Peningkatan sitasi dan reputasi akademik
- Jejaring global yang membuka banyak peluang lain
Realitas PhD di Indonesia
Saat ini, persentase dosen Indonesia yang sudah bergelar PhD baru sekitar 25,7%. Ini rendah dibanding negara lain. PhD bukan sekadar titel, tetapi sangat berkorelasi dengan kualitas riset, dan pada gilirannya dengan pertumbuhan ekonomi.
Dampak langsung bagi dosen dengan gelar PhD:
- Gaji dan remunerasi meningkat
- Akses ke jejaring global
- Peluang beasiswa dan proyek riset jauh lebih besar
Program Konkret: Beasiswa dan Kerja Sama Global
Kementerian Dikti Saintek menjalankan banyak program beasiswa dan kerja sama internasional:
Kerja Sama dengan Berbagai Negara
Uni Emirat Arab – Khalifa University
- Nilai kerja sama sekitar 259 miliar rupiah
- Untuk peluang PhD bagi dosen Indonesia
Austria, Jerman, Hungaria, dan negara lain
- Berbagai skema beasiswa bersama
- Fokus pada ekonomi sirkular, teknologi, dan bidang prioritas lainnya
Dana Riset Kolaborasi Internasional
Program kolaborasi dengan Australia, Inggris, Belanda, Prancis, dan negara lain:
- Total mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah
- Sebagian berasal dari mitra luar negeri, sebagian dari Kemendikti Saintek
Manfaat langsung bagi dosen:
- Honor peneliti
- Insentif publikasi internasional
- Poin kinerja dan rekognisi akademik
- Mobilitas global dan jejaring dengan peneliti kelas dunia
Tantangan: Mengapa Dosen Indonesia Sulit Masuk PhD Top Dunia?
Meski beasiswa banyak, dosen Indonesia yang diterima di PhD top dunia masih sedikit. Prof. Stella menyampaikan data yang mengejutkan:
- Lulusan PhD asal Tiongkok di universitas top dunia: ribuan setiap tahun
- Lulusan PhD asal India: ribuan
- Lulusan PhD asal Indonesia: puluhan
Di beberapa universitas top Amerika Serikat, jumlah PhD asal Indonesia untuk periode tertentu hanya sekitar 80-an, dibanding ratusan atau ribuan dari negara lain.
Penyebabnya
Beberapa faktor yang menghalangi:
- Pengalaman riset yang terbatas
- Minimnya exposure terhadap tier-one research topics (topik riset kelas dunia)
- Publikasi masih banyak di jurnal yang tidak dikenal di komunitas riset global
- Kurangnya branding dan jejaring sehingga surat rekomendasi dan rekam jejak kurang kuat
"Ini bukan masalah kemampuan intelektual; ini masalah persiapan dan kemasan," tegas Prof. Stella.
Garuda ACE: Solusi Sistematis
Karena itu, Kementerian tidak berhenti di beasiswa. Mereka meluncurkan program Garuda ACE (Academy of Excellence):
- Membimbing dosen-dosen Indonesia sebelum mendaftar PhD
- Menguatkan kemampuan riset, publikasi, dan proposal
- Mempertemukan dengan calon promotor di universitas top
- Agar probabilitas diterima di program PhD kelas dunia meningkat signifikan
Hasil Nyata
- Tahun 2023: 24 proyek riset internasional
- Tahun 2025: 95 peserta mengikuti Garuda ACE 2.0 dengan target diterima di universitas top dunia
Fakta Mengejutkan tentang PhD di AS
Prof. Stella mengungkapkan fakta penting yang banyak orang tidak tahu:
Di Amerika Serikat, program PhD yang baik tidak memungut biaya kuliah (tuition fee) dan bahkan memberikan stipend (gaji) kepada mahasiswa PhD.
"Artinya, kalau dosen kita diterima di program PhD yang tepat, negara justru menghemat biaya tuition dan hanya perlu fokus pada persiapan awal serta biaya hidup sebagian," jelasnya.
Dampak untuk Mahasiswa
Globalisasi juga memberikan dampak konkret untuk mahasiswa:
1. Beasiswa S1, S2, dan S3 di Universitas Top Dunia
Garuda Undergraduate Scholarship
- Hanya membiayai kuliah di top 100 universities in the world
- Saat ini sudah 368 mahasiswa Indonesia berkuliah di universitas top dunia lewat skema ini
2. Program U+ (University + Business)
Contoh kerja sama dengan provinsi Jiangsu di Tiongkok:
- 1 tahun belajar di Indonesia
- 1 tahun di Tiongkok
- 1 tahun magang di industri
Industri Tiongkok yang berinvestasi di Indonesia menyediakan beasiswa dan menjadikan lulusan langsung terserap kerja—bekerja di perusahaan Tiongkok yang beroperasi di Indonesia.
3. Jejak Global Vokasi
Pendidikan tinggi vokasi dikembangkan dengan skema magang dan penempatan kerja di luar negeri, maupun di perusahaan global yang beroperasi di Indonesia.
Sekolah Garuda: Pemerataan Akses Berkualitas
Melalui program prioritas nasional Sekolah Garuda, pemerintah membangun sekolah dan pusat keunggulan SDM sains dan teknologi di berbagai daerah:
- Tidak terpusat di Jawa
- Lokasinya tersebar, terutama di luar Jawa
- Memberikan akses pendidikan berkualitas bagi putra-putri terbaik dari berbagai kalangan
Ini bagian dari strategi besar pemerataan akses dan kualitas SDM untuk seluruh Indonesia.
Dampak untuk Masyarakat: Dari Riset ke Kesejahteraan
Globalisasi riset tidak berhenti di jurnal dan laboratorium; dampaknya harus dirasakan di masyarakat.
1. Kerja Sama Kakao dengan Prancis
- Indonesia adalah produsen kakao, tetapi nilai tambah sebagian besar masih dinikmati negara lain
- Melalui riset bersama dan pendirian Pastry & Chocolate School di Bali
- Riset kakao diarahkan untuk meningkatkan pendapatan petani dan industri hilir
2. Rumput Laut Tropis
- Indonesia adalah penghasil rumput laut tropis terbesar di dunia, tetapi nilai tambahnya masih rendah
- Riset bersama Universitas Mataram, UC Berkeley, Beijing Genomics Institute, dan industri (melalui Apindo)
- Untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah bagi petani rumput laut
"Ini contoh bagaimana riset global dihubungkan kembali ke kebutuhan lokal—untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia," ujar Prof. Stella.
MOU Bukan Tujuan
Prof. Stella mengutip kembali Jonathan Adams yang mengingatkan:
"Impact and innovation will flow from a coalition of the willing, not the straightjacket of international policy and coordination."
Artinya yang paling menentukan adalah kemauan dan inisiatif peneliti dan universitas, bukan sekadar kebijakan di atas kertas.
Karena itu, Kemendikti Saintek mengubah cara pandang:
MOU bukan indikator utama keberhasilan internasionalisasi.
Yang penting adalah:
- Ada riset bersama
- Ada mobilitas dosen dan mahasiswa
- Ada publikasi dan inovasi bersama
- Ada dampak ke masyarakat dan ekonomi
"MOU dapat memudahkan, tetapi bukan output yang dihitung," tegasnya.
Kabar Baik: Dana Riset Naik 218%
Prof. Stella menyampaikan pesan penting yang menggembirakan:
Dalam 1 tahun ini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, dana riset di Kemendikti Saintek meningkat 218%. Dan tidak ada satu rupiah pun dana riset yang dipotong karena kebijakan efisiensi.
"Kalau ada berita bahwa 'dana riset dipotong', itu tidak benar untuk Kemendikti Saintek," tegasnya dengan tegas.
Perjuangan untuk Insentif Peneliti
Yang diperjuangkan Kementerian:
- Mengembalikan global best practice bahwa peneliti harus mendapatkan insentif langsung dari dana riset
- Untuk dana APBN murni, masih diperjuangkan agar semua skema memungkinkan insentif langsung
- Untuk setengah dari total dana riset yang bersumber dari mitra (misalnya LPDP), desain skema sudah memungkinkan insentif langsung bagi peneliti
"Ini kami lakukan karena kita tahu: tanpa insentif yang tepat, sulit meminta peneliti bekerja di level global," jelas Prof. Stella.
Global, Tanpa Melupakan Lokal
Prof. Stella menegaskan bahwa global bukan berarti meninggalkan lokal. Justru sebaliknya.
Dalam 1 tahun bekerja, Prof. Stella dan tim sudah mengunjungi 51 universitas di 20 provinsi. Di setiap kunjungan, beliau lebih banyak mendengarkan:
- Mendengar tantangan
- Mendengar inovasi yang sudah dilakukan
- Lalu memberikan tanggapan dan menyusun tindak lanjut bersama
"Dan yang selalu saya temukan: di seluruh pelosok Indonesia, kita punya dosen-dosen yang sangat mumpuni. Dengan segala keterbatasan yang ada, saya selalu kagum kepada riset yang Bapak Ibu lakukan," kata Prof. Stella dengan penuh apresiasi.
Kesimpulan: Globalisasi sebagai Kebutuhan, Bukan Pilihan
Prof. Stella merangkum poin-poin kunci tentang pentingnya globalisasi:
- Pertumbuhan ekonomi jangka panjang hanya bisa dicapai dengan inovasi
- Inovasi lahir dari riset, dan basis utamanya adalah universitas
- Kualitas riset meningkat drastis ketika kita berkolaborasi secara global
- Globalisasi yang benar harus memberi manfaat langsung bagi dosen, mahasiswa, universitas, dan masyarakat
- Negara sudah meningkatkan dana riset secara signifikan dan mulai mengembalikan insentif langsung kepada peneliti
- Tugas kita bersama adalah memanfaatkan peluang ini sebaik-baiknya
"Selamat atas semua yang telah Bapak Ibu capai sampai hari ini. Kita berjuang bersama-sama. Kita percaya diri bahwa kita mampu, dan kita dibutuhkan untuk menjadi bagian dari sains global," tutup Prof. Stella dengan penuh semangat.
Sambutan Prof. Stella Christie ini bukan sekadar retorika, tetapi didasarkan pada data empiris yang kuat, program konkret yang terukur, dan visi jelas tentang masa depan pendidikan tinggi Indonesia. Dari teaching university menuju research university, dari riset lokal menuju kolaborasi global—dengan tetap berpijak pada kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Artikel ini disusun berdasarkan sambutan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Prof. Stella Christie pada KPPTI 2025 di Universitas Negeri Surabaya, 19-21 November 2025.
0 Komentar