Konsolidasi untuk Mendesain Ulang Mindset Pendidikan Tinggi
Dalam sambutannya di Konferensi Puncak Pendidikan Tinggi Indonesia (KPPTI) 2025, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Prof. Fauzan menyampaikan refleksi mendalam tentang peran strategis pendidikan tinggi dalam membentuk peradaban bangsa. Menurutnya, konsolidasi yang dilakukan bukan sekadar pertemuan rutin, melainkan upaya untuk mendesain ulang mindset penyelenggaraan pendidikan tinggi agar lebih adaptif terhadap perkembangan zaman.
Konsolidasi, yang diambil dari istilah militer, bermakna merapatkan barisan dan mengidentifikasi kekuatan serta kelemahan—baik internal maupun eksternal. Inilah "nafas" dalam organisasi yang memungkinkan kita untuk membangun kesadaran bersama sebagai para pemimpin perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Pemimpin vs Pengikut: Mencari Solusi, Bukan Meratapi Masalah
Prof. Fauzan mengingatkan hadirin dengan kutipan Brian Tracy: "Pemimpin berpikir dan berbicara tentang solusi; pengikut berpikir dan membicarakan masalah." Pernyataan ini menjadi refleksi penting bagi para pimpinan perguruan tinggi. Jika kita hanya meratapi masalah tanpa mencari solusi, kita belum layak disebut pemimpin.
Forum KPPTI 2025 menjadi momentum untuk mengkapitalisasi potensi masing-masing institusi demi kontribusi nyata terhadap pembangunan peradaban bangsa. Berdasarkan teori "1% rule", hanya 1% orang yang menjadi penanggung jawab perubahan. Para hadirin di forum tersebut adalah bagian dari 1% itu—orang-orang terpilih yang memikul amanat besar untuk transformasi pendidikan tinggi Indonesia.
Dari Supporter hingga Pemicu Transformasi
Evolusi peran perguruan tinggi telah mengalami perubahan signifikan. Dulu perguruan tinggi berperan sebagai supporter, kemudian menjadi driver dan enabler. Kini, perguruan tinggi diharapkan menjadi pemicu transformasi—agen utama yang memulai perubahan fundamental dalam masyarakat.
Tema "pendidikan tinggi transformatif" bukan muncul tiba-tiba, tetapi merupakan tuntutan zaman. Prof. Fauzan menekankan pentingnya istilah "peradaban" karena dari peradaban lahir kedaulatan. Seperti yang selalu dikatakan Ki Hadjar Dewantara, pendidikan melahirkan kemandirian bangsa. Oleh karena itu, kita perlu mendefinisikan ulang arah masa depan pendidikan dan arah masa depan bangsa.
Siklus Besar Peradaban dan Tanggung Jawab Kita
Kehadiran para pemimpin pendidikan tinggi bukan hanya tanggung jawab akademis, tetapi juga tanggung jawab moral, sosial, dan politik. Kita semua adalah bagian dari siklus besar peradaban yang ditandai dengan pengulangan, fase yang dapat diprediksi, gerak tanpa akhir, dan ketergantungan pada waktu.
Untuk membangun siklus transformatif, dua hal mendasar perlu ditinjau ulang:
Apakah birokrasi perguruan tinggi sudah mencerminkan semangat transformasi? Atau masih terjebak dalam rutinitas administratif yang menghambat inovasi?
Apakah kurikulum kita adaptif? Apakah kompetensi lulusan sudah sesuai dengan kebutuhan sosial dan industri?
Realitas yang Harus Dihadapi
Prof. Fauzan tidak menutup mata terhadap berbagai tantangan yang masih dihadapi:
- Pengangguran masih tinggi meskipun banyak lulusan perguruan tinggi
- Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi baru 32%—masih jauh dari target ideal
- IQ rata-rata penduduk Indonesia masih di posisi terendah di ASEAN
- Ketimpangan akses dan kualitas masih menjadi persoalan serius
Semua ini menuntut perubahan bersama. Presiden sudah menabuh genderang perubahan dengan berbagai terobosan, maka pendidikan tinggi tidak punya pilihan selain berada di garda depan.
Dari Kompetensi Generik ke Kompetensi Spesifik
Salah satu kritik tajam yang disampaikan adalah soal relevansi kurikulum. Perguruan tinggi tidak boleh melakukan hal yang sama dengan tahun lalu atau bahkan sepuluh tahun lalu. Jika masih sama, kita hanya bekerja keras tetapi berjalan mundur karena tidak sesuai kebutuhan nyata di lapangan.
Industri kini menuntut kompetensi spesifik, sementara perguruan tinggi masih banyak terjebak pada kompetensi generik. Prof. Fauzan memberikan ilustrasi menarik: pada tahun 1980-1990an, orang tua kita menggunakan bedak merek Viva dengan cara sederhana. Hari ini, makeup menjadi jauh lebih kompleks, bahkan hingga empat lapis.
Perubahan ini mencerminkan transformasi peradaban. Pertanyaannya: apakah pendidikan tinggi ikut berubah? Jika masih seperti tahun 1980-an, sulit rasanya menyebut diri kita perguruan tinggi maju.
Siklus Destruktif yang Harus Dihindari
Wamen mengingatkan lima kondisi yang dapat membawa perguruan tinggi ke dalam siklus destruktif:
- Disorientasi visi - Birokrasi terjebak rutinitas dan elitisme
- Kepemimpinan lemah dan kurang regeneratif - Menimbulkan krisis kepemimpinan
- Gagal membaca tren - Tidak peka terhadap perubahan zaman
- Minim inovasi - Padahal inovasi membutuhkan keberanian
- Konflik kepentingan - Menghambat kemajuan institusi
Wamen berharap pimpinan perguruan tinggi dapat meminimalkan konflik internal. Kementerian sering menerima laporan masalah, tetapi jarang menerima laporan keberhasilan. Walau demikian, kementerian tetap berkewajiban membantu meminimalkan persoalan tersebut.
Empat Prinsip Pendidikan Tinggi Adaptif
Agar pendidikan tinggi dapat benar-benar adaptif terhadap perkembangan sosial, ada empat prinsip yang dapat menjadi pegangan:
Perguruan tinggi harus membaca pasar dan kebutuhan bangsa. Jangan sampai kita mencetak lulusan yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat dan industri.
Keunggulan bersifat dinamis, sehingga hanya inovasi yang dapat melahirkan keunggulan berkelanjutan. Keunggulan yang stagnan akan dengan cepat tertinggal.
Perguruan tinggi harus berkontribusi pada kesejahteraan, tidak hanya bersifat material tetapi juga immaterial—seperti peningkatan kualitas hidup dan martabat manusia.
Kepemimpinan pendidikan tinggi harus berbeda dari kepemimpinan sektor lain: lebih humanis, berorientasi pada martabat, dan mendorong kemajuan institusi secara berkelanjutan.
Tonggak Membangun Peradaban
Wamen menutup sambutannya dengan harapan besar agar forum KPPTI 2025 tidak hanya menjadi ajang diskusi, tetapi menjadi tonggak untuk membangun peradaban yang lebih maju. Pendidikan tinggi Indonesia tidak boleh terjebak dalam kondisi stagnan atau eksklusif.
Sebagai para pemimpin perguruan tinggi, kita memikul tanggung jawab besar untuk menciptakan perubahan fundamental. Tahun 2045 bukan lagi waktu yang jauh. Jika kita ingin Indonesia menjadi negara maju, pendidikan tinggi harus memulai transformasinya hari ini—bukan besok, bukan tahun depan.
Jayalah pendidikan tinggi di Indonesia.
Artikel ini disusun berdasarkan sambutan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi pada KPPTI 2025 di Universitas Negeri Surabaya, 19-21 November 2025.

0 Komentar