Politik Anggaran Pendidikan Tinggi: Antara Komitmen dan Realitas


Komitmen Konstitusional 20% APBN untuk Pendidikan

Dalam sambutannya di Konferensi Puncak Pendidikan Tinggi Indonesia (KPPTI) 2025, Wakil Ketua Komisi X DPR RI H. Lalu Hadrian Irfani menegaskan komitmen kuat pemerintah dan DPR untuk memenuhi amanat konstitusi: mengalokasikan 20% APBN dan APBD untuk pendidikan. Data yang disampaikan menunjukkan tren positif peningkatan anggaran pendidikan dari tahun ke tahun:

  • 2021: Rp550,01 triliun
  • 2022: Rp542,83 triliun
  • 2024: Rp665,02 triliun
  • 2025: Rp724,26 triliun
  • 2026: Rp758 triliun (proyeksi)

"Setiap tahun terjadi kenaikan. Ini membuktikan bahwa komitmen Presiden Prabowo Subianto sangat besar terhadap dunia pendidikan—tidak hanya pendidikan tinggi, tetapi juga pendidikan dasar dan menengah," ujar Wakil Ketua Komisi X.

Namun, peningkatan angka ini harus dimaknai lebih dari sekadar nominal. Politik anggaran yang bertanggung jawab menuntut fokus pada ketepatan sasaran, keadilan, dan dampak nyata dari setiap rupiah yang dikeluarkan. Komitmen ini harus dipahami sebagai investasi jangka panjang untuk membangun sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas.

Paradoks Anggaran: Besar Nominal, Kecil Porsi Kementerian Teknis

Meski anggaran pendidikan terus meningkat, Wakil Ketua Komisi X mengungkapkan paradoks yang mengkhawatirkan. Dalam struktur 20% fungsi pendidikan, porsi yang diterima kementerian teknis pendidikan sangat kecil:

Distribusi Anggaran Pendidikan 2025:

  • Transfer ke Daerah (TKD): 47,92% - porsi terbesar
  • K/L Lain: 14,42% - termasuk Badan Gizi Nasional
  • Kemendikdasmen: 7,96% - kementerian teknis pertama
  • Kemdikti Saintech: 4,63% - kementerian teknis kedua
  • Dana Abadi Pendidikan: 3,45% - dikelola Kemenkeu
  • Pembiayaan Pendidikan: 7,59% - dikelola Kemenkeu

"Dua kementerian yang secara langsung mengurus pendidikan justru memperoleh porsi relatif kecil, sementara komponen strategis lain dikelola oleh Kementerian Keuangan, bukan oleh kementerian yang langsung menangani sektor pendidikan," kritik Wakil Ketua Komisi X.

Struktur ini secara konsisten menempatkan kementerian teknis pendidikan pada posisi minor dalam total belanja pendidikan. Akibatnya, upaya reformasi pendidikan yang membutuhkan intervensi terarah—peningkatan mutu pendidik, penguatan ekosistem pembelajaran, digitalisasi, maupun hilirisasi riset—sering terhambat oleh ketidakseimbangan antara mandat dan kapasitas fiskal.

Drama Efisiensi Anggaran: Ancaman terhadap Program Strategis

Awal tahun 2025 menjadi periode yang menegangkan bagi dunia pendidikan tinggi. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 mengamanatkan efisiensi anggaran besar-besaran, termasuk memangkas hampir 50% anggaran pendidikan di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi.

Program-program strategis yang sempat masuk daftar pemangkasan:

  • KIP Kuliah - bantuan untuk mahasiswa kurang mampu
  • Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI)
  • Beasiswa ADik
  • Beasiswa untuk dosen dan tenaga kependidikan

"Pemangkasan program-program ini berisiko langsung terhadap keberlanjutan pendidikan mahasiswa kurang mampu, pengembangan kualitas dosen, dan daya saing perguruan tinggi di Indonesia," tegas Wakil Ketua Komisi X.

Perjuangan Komisi X DPR

Dalam situasi kritis tersebut, Komisi X mengambil posisi tegas untuk menolak efisiensi yang berpotensi melemahkan akses dan kualitas pendidikan tinggi. Berbagai langkah advokasi dilakukan: pembahasan intensif dengan pemerintah, rapat kerja, hingga penyusunan argumen fiskal dan akademik.

Alhamdulillah, upaya ini membuahkan hasil positif. Banyak anggaran yang semula terancam dipangkas akhirnya dibatalkan dari rencana efisiensi:

  • KIP Kuliah tetap berlanjut
  • Skema BPI dan beasiswa lain tetap dipertahankan
  • Program pengembangan SDM dosen dan tenaga kependidikan tetap berjalan
  • Tunjangan kinerja dosen ASN diakomodasi melalui Perpres Nomor 19 Tahun 2025

"Keberhasilan ini menunjukkan bahwa komitmen terhadap pendidikan tidak boleh dikorbankan semata oleh tekanan efisiensi jangka pendek," kata Wakil Ketua Komisi X dengan penuh keyakinan.

Keberpihakan terhadap Perguruan Tinggi Swasta (PTS)

Komisi X DPR RI secara konsisten menunjukkan keberpihakannya terhadap PTS melalui berbagai upaya konkret:

1. Bantuan Operasional PTS (BOPTN untuk PTS)
Program ini bertujuan meringankan beban operasional kampus dan biaya mahasiswa, sejalan dengan prinsip BOS di pendidikan dasar dan menengah.

2. Peningkatan Kesejahteraan Dosen Non-ASN
Komisi X memperjuangkan penyesuaian tunjangan profesi agar kesenjangan dengan dosen ASN di PTN tidak terlalu jauh. Semangat kesetaraan ini juga diusung dalam pembahasan revisi UU Sisdiknas.

3. Pengawasan Kebijakan yang Berpotensi Timpang
Komisi X menjalankan fungsi pengawasan terhadap:
  • Alokasi anggaran besar untuk PTKL (perguruan tinggi kementerian/lembaga)
  • Penguatan status PTNBH yang dikhawatirkan menggerus "pasar" calon mahasiswa PTS

4. Perjuangan Kuota KIP Kuliah
Komisi X memperjuangkan agar mahasiswa PTS mendapatkan porsi yang lebih besar dari program KIP Kuliah, sebagai wujud komitmen untuk mendorong keadilan dalam ekosistem pendidikan tinggi.

Masalah Struktural: Ketidakbakuan Definisi Anggaran Pendidikan

Salah satu faktor ketidakefisienan yang disorot adalah perubahan signifikan dalam komponen postur dan definisi anggaran pendidikan yang tidak baku dari tahun ke tahun. Ketidakseragaman ini berimplikasi serius:

  • Perluasan pos distribusi anggaran fungsi pendidikan ke berbagai K/L yang tidak memiliki kewenangan langsung di bidang pendidikan
  • Alokasi tersebar dengan orientasi dan indikator kinerja yang tidak sinkron dengan kebijakan utama pendidikan nasional
  • Melemahkan efektivitas kebijakan dan mengaburkan akuntabilitas

"Kementerian pendidikan seharusnya menjadi chief operational officer di bidang pendidikan, sebagaimana diatur dalam PP No. 48 Tahun 2008. Namun realitasnya, mereka belum memiliki peran dominan dalam pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pendidikan," kritik Wakil Ketua Komisi X.

PP No. 18 Tahun 2022: Harapan yang Belum Terwujud

Harapan sempat muncul ketika lahir PP No. 18 Tahun 2022 yang mengubah PP No. 48 Tahun 2008. Di atas kertas, Kemendikbudristek saat itu seharusnya memperoleh posisi sebagai chief financial officer yang turut menentukan pengalokasian anggaran pendidikan.

Namun dalam praktik, harapan tersebut belum terwujud maksimal. Kementerian Pendidikan masih harus "berebut" anggaran dengan kebutuhan non-pendidikan, dan belum sepenuhnya berfungsi sebagai dirigen yang mampu mengorkestrasi komunikasi dengan Kementerian Keuangan dan Bappenas.

Ketiadaan Roadmap Pendidikan Nasional

Persoalan mendasar lainnya adalah belum adanya peta jalan (roadmap) pendidikan nasional yang komprehensif, adaptif, dan menjadi acuan lintas kementerian/lembaga. Tanpa roadmap yang jelas, arah kebijakan pendidikan nasional cenderung:

  • Parsial dan sektoral
  • Jangka pendek
  • Tidak terintegrasi antarsektor

"Setiap K/L yang memperoleh alokasi fungsi pendidikan menjalankan program berdasarkan kepentingan sektoral, bukan dalam satu kerangka besar pembangunan pendidikan nasional yang terintegrasi," ungkap Wakil Ketua Komisi X.

Ketiadaan roadmap juga berdampak pada kesulitan evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas penggunaan anggaran. Tanpa arah kebijakan baku dan indikator lintas sektor yang disepakati, sulit bagi publik—bahkan DPR—untuk menilai sejauh mana anggaran pendidikan menghasilkan output dan outcome signifikan.

Panja PTKL: Mengungkap Ketimpangan yang Mengkhawatirkan

Komisi X telah membentuk Panitia Kerja (Panja) PTKL pada 21 Januari 2025 yang bekerja hingga Desember 2025. Panja ini memetakan dan menyelaraskan alokasi serta pengelolaan anggaran pendidikan tinggi yang tersebar di lebih dari 20 K/L.

Temuan Mengejutkan Panja PTKL:

1. Ketidakselarasan Regulasi Masih terdapat PTKL yang belum selaras dengan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan PP No. 57 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi oleh Kementerian Lain dan LPNK.

2. Tumpang Tindih Kewenangan Masih ditemukan PTKL yang menyelenggarakan program studi umum yang tidak sesuai dengan fungsi kedinasan kementerian induknya, mengganggu integritas sistem pendidikan tinggi.

3. Ketimpangan Unit Cost yang Ekstrem

  • Biaya operasional per mahasiswa di PTKL mencapai 13,8 kali lebih tinggi dibanding PTN umum
  • Mahasiswa PTKL hanya sekitar 0,4 juta, jauh di bawah PTN (3,9 juta) dan PTS (4,4 juta)
  • PTKL menyerap 39% anggaran pendidikan pada APBN 2025
  • Porsi Kemdikti Saintech hanya 22%

"Ketimpangan ini menunjukkan perlunya evaluasi unit cost dan integrasi perencanaan lintas K/L dalam pengelolaan anggaran pendidikan tinggi," tegas Wakil Ketua Komisi X.

Agenda Revisi UU Sisdiknas: Reformasi Mendasar

Dalam berbagai forum pembahasan anggaran dan rapat kerja, Komisi X berulang kali menegaskan pentingnya memperkuat posisi kementerian pendidikan sebagai lead institution dalam tata kelola anggaran pendidikan nasional.

Hal ini menjadi dasar pemikiran dalam revisi Undang-Undang Sisdiknas—yang mengkodifikasi UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Reformulasi yang diusulkan meliputi:

1. Definisi Anggaran Pendidikan yang Final dan Baku
Menetapkan definisi yang tidak berubah-ubah dari tahun ke tahun, memastikan transparansi dan akuntabilitas.

2. Sumber Anggaran dari Belanja Negara
Memastikan bahwa 20% anggaran pendidikan bersumber dari belanja negara, bukan dari pendapatan.

3. Rencana Induk Pendidikan Nasional
Mengusulkan dokumen strategis jangka panjang yang menjadi visi nasional, konsisten, dan tidak berubah hanya karena pergantian kepemimpinan.

4. Mekanisme Distribusi yang Lebih Transparan
Memastikan anggaran pendidikan lebih terukur dan tepat sasaran, dengan memperkuat peran kementerian teknis pendidikan.

Komitmen untuk Kampus Berdampak

Wakil Ketua Komisi X menegaskan bahwa komitmen untuk mendukung "kampus berdampak" harus diwujudkan melalui kolaborasi dan sinergi kuat antarkementerian dan lembaga. Komisi X memperkuat fungsi pengawasan untuk memastikan:

  • Alokasi anggaran pendidikan di semua K/L memiliki target output dan outcome yang jelas
  • Selaras dengan peta jalan pendidikan nasional
  • Kementerian Pendidikan Tinggi memimpin koordinasi ini
  • Seluruh potensi anggaran pendidikan dimanfaatkan secara optimal dan efisien

"Politik anggaran untuk pendidikan tinggi bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan soal keberpihakan, keadilan, dan visi kolektif untuk memajukan bangsa," ujar Wakil Ketua Komisi X dengan penuh semangat.

Harapan untuk Konsolidasi Berkelanjutan

Menutup sambutannya, Wakil Ketua Komisi X menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi yang telah menginisiasi KPPTI 2025. Forum ini dinilai sebagai terobosan baru yang sangat penting.

"Saya berharap ini bukan puncak yang berakhir di sini, tetapi akan ada puncak-puncak berikutnya lima tahun ke depan sebagai ajang silaturahmi dan kolaborasi untuk menyatukan visi dan misi dalam rangka terus meningkatkan dan memajukan pendidikan kita," harap beliau.

Komisi X berkomitmen menjadi jembatan aspirasi dan memastikan anggaran pendidikan betul-betul menjadi instrumen strategis untuk mewujudkan kampus berdampak. Dengan semangat gotong royong dan sinergi antara pemerintah, DPR, dunia pendidikan, industri, dan masyarakat, cita-cita Indonesia Emas 2045 dapat terwujud.

Kesimpulan

Sambutan Wakil Ketua Komisi X DPR RI ini memberikan gambaran komprehensif tentang kompleksitas politik anggaran pendidikan tinggi di Indonesia. Meski komitmen konstitusional 20% APBN untuk pendidikan terus dipenuhi dengan tren peningkatan, masih banyak masalah struktural yang harus diselesaikan:

  1. Ketimpangan distribusi anggaran yang merugikan kementerian teknis pendidikan
  2. Ancaman efisiensi yang membahayakan program strategis
  3. Ketidakbakuan definisi dan postur anggaran pendidikan
  4. Ketiadaan roadmap pendidikan nasional yang komprehensif
  5. Ketimpangan ekstrem antara PTKL, PTN, dan PTS
  6. Perlunya penguatan peran kementerian pendidikan dalam tata kelola fiskal

Hanya dengan reformasi mendasar melalui revisi UU Sisdiknas, penguatan koordinasi lintas sektor, dan komitmen politik yang konsisten, pendidikan tinggi Indonesia dapat benar-benar menjadi jantung pembangunan dan motor kemajuan bangsa.


Artikel ini disusun berdasarkan sambutan Wakil Ketua Komisi X DPR RI H. Lalu Hadrian Irfani pada KPPTI 2025 di Universitas Negeri Surabaya, 19-21 November 2025.

Posting Komentar

0 Komentar